A life called Grace

Surabaya, May 6, 2014
I found and got so much refreshed at this 4-year-old email chat with a dear friend, Martha Pratana who helped me translate my testimony about my daughter.
Hope this may refresh you, too...

one quiet afternoon at my Dad's office.
Juli Indawati
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------

 -----Original Message-----
From: juliindawati@yahoo.com
Date: Wed, 8 Sep 2010 10:09:03
To: <martha_pratana@yahoo.com>
Reply-To: juliindawati@yahoo.com
Cc: <juliindawati@yahoo.com>
Subject: Life is Indeed Grace

Dear Martha,

Nama saya Juli Indawati. Sudah menjadi jemaat MDC sejak 2003 or 2004. Ikut DK 2006, HB2007.
Saat ini saya bantu di Children Ministry and suami (Anton Angkawijaya) bantu di kelas DK.

Yang dorong saya nulis ini Kak Lyd CSES. Jadi sebelum kesaksian, saya ada sediki surat buat Kak Lyd, maybe good for u to know.

Kesaksiannya bahasa Inggris. Saya masih coba bikin yang bahasa Indo, tapi masih kurang baik (lebih panjang dan tidak akurat). Sangat terbuka jika team Anda berkenan mentranslate.

Jangan sungkan bila tulisan ini kurang qualified buat project Anda. Saya hanya share-kan apa yang pernah saya alami, paling nggak anda or Kak Lyd baca. May it abundantly bless you too.

Love in Christ,
Juli Indawati

------------------------------
August 22, 2010

Dear Kak Lyd,
couple times I have tried to start writing my life testimony since we met the other day in August 2010. But, as many as I started, I ended up still with same question of what God wants me actually to
pass on. It should really be more than just a memorable life story.

And today, He gave me His heart and I know this is the most thing God has worked within me during those days back then 3 years ago.

----------------------------
"Life is Indeed Grace"

My second child was born in an extremely premature condition. She was conceived only within 6 months pregnancy and born with breech position (feet out first) by normal delivery.

Delivered with the weight of 1,29 kilograms and length of 40cm, this tiny baby had to go through several apneas (forgets breathing), 80-90% oxygen support, blood transfusion and 18x24 hours of UV light in the incubator.




With me as the mother, I had started my "battle for life" with her since the third month of pregnancy. I got hospitalized 3 times for heavy bleeding and total bed rest before finally I have to deliver prematurely.

The hardest battle of faith was during the first 60 days of her life. it was definitely a "roller coaster ride of faith".
One day, I might see her progress and my hope was bubbling high. She smiled, her heart beat pulsed stronger without much oxy support. The bilirubin level was going down. While another day, the doctor called us at midnight addressing her condition as critical and for both of us to prepare the "worst case scenario".



That was the night, I had all my hopes falling apart. I saw her face so blue, the oscillator showed her oxy concentration was so low, and she was even hardly breathing anymore.
All nurses were around the incub, one was installing the oxy mask, one was tapping her hard on thigh to keep her awake. Itt was so busy and loud, yet I felt my ears totally muted.
I got my mind and heart somewhat idle and stop functioning too.
Only these voices kept wailing out in my mind: "This is it Lord? Is it the end?you sure, Lord?I'm losing her?"



She passed that night, but the condition was still in critical period.
But I had been broken into pieces.
I went home that night, slept in exhaustion and woke up crying. It was the very first time I cried in despair since the birth.
The faith, which is not even as big as the mustard seed yet, was like totally 'crushed'.
I cried on bed, next to Anton, and I believe what he spoke that morning to me was indeed Godsent message put in his heart.
"Nik, we're just like soldiers, sent by the Great Commander. Just like in any wars we know, soldiers may lose their hands, hearts, even heads. We may lose our child, Nik. But we have fought the war the best. And at tthe end we know, when the war is over, we will go home. And we know where we are heading for, we're going to the House of our Great Commander."
And I started to see, its not about me, my feelings, my life or whatsoever of "me, myself and I". It's all about my Lord Jesus and how He will see me. And I have to be a real good soldier.
It may sound funny, but I gained back all my strength and peace to stand up on the ground of my faith. I remember the other Sunday I went to church and a female speaker shared abt the loss of her father and how she could experience the "peace that surpassess all understanding".
I got it that morning, just right after I am totally aware how this life was all about my creator, my Great Commander.

At the end, my baby girl, survived. She is three when I'm writing this. We named her: Grace. But, I have hold the greater truth and miracle than the survival of my child.
I hold on the faith that whatever may happen in front of me, my life is all about Jesus who had died for me and my fight is not of my happiness anymore but to do the will of my Great Commander.

"For of Him and through Him and to Him are all things, to whom be glory forever. Amen" Rm 11: 36



 -------------------------------------------------------------------------------
Below is Martha Pratana's Indonesian-translation to my testimony.

http://www.gkpb.net/index.php?option=com_k2&view=item&id=71:i-share-juli-indawati&Itemid=396


Hidup ini adalah Kasih Karunia

Anak kedua saya lahir dalam kondisi yang sangat prematur.  Dia berada di rahim saya hanya selama 6 bulan dan lahir dalam keadaaan sungsang—kakinya keluar lebih dahulu—melalui persalinan yang normal.
Dilahirkan dengan bobot hanya 1,29 kilogram dan panjang 40 cm, bayi perempuan saya yang mungil ini harus mengalami beberapa kali apneas (lupa bernafas). Dia pun harus mendapat dukungan oksigen sebanyak 80-90 % dan harus diletakkan di dalam inkubator dengan menjalani penyinaran UV selama 18x24 jam.
Sebagai ibunya, saya sudah memulai “perjuangan hidup” saya bersama dengannya semenjak kehamilan saya berusia 3 bulan. Saya juga pernah dirawat di rumah sakit sebanyak 3 kali karena mengalami perdarahan hebat dan sesudahnya saya harus berbaring total di atas tempat tidur sebelum akhirnya saya melahirkan secara prematur.
Peperangan iman terhebat harus saya alami pada 60 hari pertama dari kehidupan anak saya ini. Saya umpamakan saat-saat itu betul-betul seperti suatu “roller coaster iman”. Satu hari, saya bisa saja melihat kemajuannya dan harapan saya membumbung tinggi. Bayi saya bisa tersenyum, detak jantungnya menguat sekalipun tanpa dukungan oksigen. Tingkat bilirubin-nya menurun. Namun, di kali lain dokter memanggil kami di tengah malam dan menjelaskan kondisinya yang kritis serta mengimbau kami untuk bersiap-siap menghadapi “skenario terburuk”.
Dan malam itu, rasanya runtuhlah semua harapan saya. Saya melihat wajah bayi saya sedemikian birunya, alat oscillator (nama sebuah alat) yang berfungsi untuk menunjukkan konsentrasi oksigen di dalam tubuhnya begitu rendah, dan dia sepertinya bahkan tidak lagi bernafas sama sekali. Para perawat berada di sekeliling inkubator; salah satu perawat memasang masker oksigen, perawat yang lain lagi menepuk-nepuk pahanya dengan keras untuk membuat bayi saya itu terjaga. Situasinya demikian sibuk dan bising, namun saya merasakan telinga saya seolah-olah tak dapat mendengar atau merasakan apa-apa. Pikiran dan hati saya—entah bagaimana—serasa bisu dan berhenti berfungsi juga. Hanya suara-suara panik yang menjerit-jerit di benak saya, “Jadi, inikah, Tuhan? Inikah akhirnya? Apakah Engkau yakin, Tuhan? Aku akan kehilangan diakah?” Namun bayi saya dapat melewati malam itu, walaupun kondisinya masih saja kritis. Dan saya pun serasa tercabik berkeping-keping.
Saya pulang ke rumah malam itu, tidur dengan perasaan letih dan terbangun lalu menangis. Sejak saya lahir di bumi ini, baru kali itulah saya menangis dengan sangat putus-asanya.  Iman saya, yang bahkan tak bisa menyamai besarnya biji sesawi yang kecil itu pun, seolah-olah  ‘dihancurkan’.  Saya menangis di atas tempat tidur, di sisi Anton—suami saya—dan saya percaya apa yang dikatakannya kepada saya pagi itu benar-benar merupakan pesan yang dikirimkan Allah dan ditanamkan di hatinya,
"Nik, kita ini hanyalah seperti para serdadu, yang dikirim oleh Sang Komandan Agung. Sebagaimana yang terjadi di dalam semua peperangan  yang kita ketahui, para serdadu itu bisa kehilangan lengan, jantung, bahkan kepala mereka. Kita bisa saja kehilangan anak kita, Nik. Namun kita sudah berperang dengan sebaik-sebaiknya. Dan pada akhirnya kita akan tahu, saat perang berakhir, kita akan pulang ke rumah. Dan kita tahu ke mana arah kita; kita pergi menuju Rumah Komandan Agung kita.“
Dan saya mulai melihat, bahwa semuanya ini bukan tentang saya, bukan tentang perasaan saya, tentang hidup saya atau apa pun itu yang terkait dengan "me, myself and I", yang mementingkan diri sendiri. Namun semuanya ini adalah terkait Tuhan saya, Yesus dan bagaimana Dia menilai saya. Dan saya harus menjadi prajurit yang benar-benar hebat. Kedengarannya mungkin konyol, namun saya mendapatkan kembali kekuatan saya dan saya mampu berdiri di atas tanah iman saya.
Saya teringat hari Minggu sebelumnya, saya beribadah di gereja dan pembicaranya (seorang wanita) bercerita tentang  bagaimana dia kehilangan ayahnya (karena meninggal dunia), namun dia dapat mengalami “damai sejahtera yang melampaui segala akal”. Saya menemukan damai sejahtera itu juga tepat di saat saya benar-benar menyadari
bagaimana hidup ini adalah tentang Pencipta saya, Sang Komandan Agung saya. Pada akhirnya, bayi perempuan saya bertahan hidup. Dia berusia 3 tahun ketika saya menuliskan kesaksian ini. Kami memberinya nama “Grace”—yang artinya “Kasih Karunia”. Namun saya telah mendapatkan kebenaran dan mukjizat yang lebih besar daripada sekadar anak saya yang berhasil selamat. Saya kini mendapatkan iman bahwa apa pun yang akan terjadi di depan saya, hidup saya ini adalah tentang Yesus yang telah mati bagi saya dan peperangan saya bukanlah demi kebahagiaan saya lagi, namun demi memenuhi kehendak Komandan Agung saya.
"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" - Roma 11:36. Amen!

(Juli Indawati adalah seorang ibu dari dua anak dan istri dari Anton Angkawijaya. Seorang guru yang memiliki cinta kasih yang besar terhadap negerinya, Indonesia. Lahir di Surabaya, pada tahun 1975,  Juli telah menyelesaikan studi sarjan strata 1 di Fakultas Hukum di Universitas Surabaya dan Sarjana Strata 2 di  City University of New York- Baruch College. Saat ini, Juli mengajar anak-anak SD di Ivy School, Surabaya).

No comments:

Post a Comment